![]() |
Ridho Ficardo. (ist) |
IDE dalam research proposal ini menjadi tema diskusi hangat ketika penulis presentasikan di depan lima panelis dalam sebuah wawancara beasiswa luar negeri Agustus 2015 yang lalu. Alhamdulillah lulus. Saat ini penulis sedang berusaha mengumpulkan data pendukung yang diharapkan berkontribusi bagi pengembangan teori politik.
Dalam melihat hubungan negara dan swasta telah tumbuh beberapa teori yang sudah banyak kita kenal. Namun umumnya melihat bahwa swasta berhubungan dengan negara dalam rangka adanya policy yang kemudian memguntungkan bagi perusahaan.
Di kalangan teoritis ilmu sosial misalanya teori Marx tentang negara bahwa negara adalah alat penindasan kaum borjuis terhadap kaum proletar. Teori negara kapitalis di sisi yang lain merevisi teori Marx yang menitiktekankan pada argumentasi bahwa negara menjadi alat untuk menciptakan kapitalisme itu sendiri.
Konsep Chalmer Johnson tentang developmental state salah satu teori yang dihasilkan dalam tradisi pendekatan teori ini. Karya klasik Yoshiara Kunio, ersatz capitalism, salah satu yang menjelaskan fenomena ini di Asia Tenggara.
Majalah economist beberapa tahun yang lalu sempat mengangkat konsep state capitalism misalnya, yang melihat peran negara untuk menciptakan kapitalisme dan menggerakan industrilisasi yang bertumpu pada perusahaan negara.
Apa yang berbeda dengan Lampung dalam melihat hubungan negara dan Sugar Group ( Swasta )? Lampung menjadi unik karena justru swasta yang mengambil alih peran partai politik dalam proses suksesi politik di pemilukada untuk kemudian mencalonkan kepala daerah yang didanai oleh Sugar Group.
Biasanya dalam asumsi teori negara pluralis; negara, partai politik dan swasta sama-sama otonom dan ada jarak. Swasta akan mendanai calon-calon pemimpin publik yang kemudian berharap kepentingannya dilindungi. Pola lama ini menjadikan kepala daerah berhubungan mutualisme dengan kalangan bisnis.
Politisi mendapat dana kampanye, dan kemudian kalangan bisnis mendapat perlindungan atau keuntungan proyek-proyek pemerintah.
Dalam kasus Lampung pola baru ini ternyata costnya bagi logika bisnis lebih murah bagi mereka mencalonkan kader sendiri ketimbang kader politisi murni partai seperti pola lama.
Untuk kasus Sugar Group dalam wawancara penulis dengan seoarang calon wakil kepala daerah yang dicalonkan perusahaan, terungkap bahwa perusahan selama ini menanggung biaya besar akibat diperas oleh kepala daerah dari kalangan politisi biasa.
Oleh karena itu dalam rangka menekan biaya politik, perusahaan berfikir lebih menguntungkan mencalonkan "kader perusahaan" ketimbang calon luar. Untuk itu proyek pembajakan negara dimulai dengan pembajakan partai politik.
Parpol yang diambil alih oleh perusahaan adalah Partai Demokrat Lampung dengan menjadikan "kader internal" Ridho Ficardo, yakni anak petinggi perusahan ( Fauzi Toha ) yang menjadi ketua Partai Demokrat Lampung.
Setelah Partai Demokrat berhasil dibajak, selanjutnya melalui ajang pemilukada Ridho Ficardo yang tidak punya rekam jejak apapun sebelumnya itu di politik lokal didukung dengan dana besar untuk bersaing di pemilihan Gubernur 2014 yang lalu. Bagi perusahaan ongkos mendanai pilkada demi mencalonkan Ridho lebih murah costnya ketimbang diperas oleh pejabat daerah korup seperti pola hubungan yg berlansung sebelumnya.
Dalam wawancara itu motif utama perusahaan bukanlah mencari untung tetapi justru untuk membangun good governance. Pesan perusahaan sederhana "Ridho jangan korupsi saja". Pesan ini tersirat bahwa busines sector selama ini sangat dirugikan oleh politisi lokal yang terus memeras.
Didorong oleh kegelisahan itulah Perusahaan justru berperan bak partai politik yang kemudian mengangkat "kadernya" demi mengurangi biaya politik tinggi dan menciptakan pemerintahan yang berpihak pada pembentukan sistem yang bersih dan tidak korup. Selanjutnya perusahan sendiri berusaha untuk mengembangkan pengaruhnya di ajang pemilukada 2015 ini dengan menempatkan kepala daerah yang didukung oleh mereka.
*Budi Kurniawan
Pemerhati ekonomi-politik dan kebijakan publik, meraih gelar master public policy dari The Australian National University