Notification

×

Kewibawaan Jokowi Dipertanyakan, Kasus Intoleransi Beragama Masih Marak Terjadi

15 February 2023 | 8:37 PM WIB Last Updated 2023-02-21T02:09:09Z
Presiden Joko Widodo alias Jokowi (Foto: Istimewa)


JAKARTA - Direktur SETARA Institute, Haili Hasan pertanyakan wibawa Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena tak menegur kepala daerah yang belum menjamin kebebasan beragama dan melanggengkan intoleransi beragama.


Pasalnya, pengekangan dalam beragama masih kerap terjadi seperti yang terjadi di Sukabumi, Jawa Barat pekan lalu.


“Kewibawaan Presiden dipertanyakan. Padahal pernyataan Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Kepala Daerah dan Forkopimda Tahun 2023 di Bogor (17 Januari 2023) disaksikan publik Indonesia, karena hampir semua media besar mengangkatnya,” ujarnya, Rabu, 15 Februari 2023.


Halil menjelaskan, dalam kasus Sukabumi, Bupati H. Marwan Hamami dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Sukabumi melarang Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Parakansalak membangun sarana peribadatan maupun kegiatan keagamaan lainnya.


Menurut Halil, kejadian serupa terjadi di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat pada  26 Januari 2023.  


Forkopimda Sintang, Kalimantan Barat, mengekang Ahmadiyah dengan melarang melakukan aktivitas keagamaan tertentu.


Dari beberapa insiden tersebut Halili menilai pelarangan beragama pasca intruksi Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional bersama Kepala Daerah menjadi bentuk pembangkangan.


Juru bicara JAI, Yendra Budiana juga menganggap pernyataan Presiden Jokowi untuk tidak boleh melangkahi konstitusi justru diabaikan oleh kepala daerah.  


“Ternyata, pernyataan Presiden Jokowi bahwa ‘jangan sampai kesepakatan mengalahkan konstitusi’ diabaikan oleh kepala daerah yang melarang Ahmadiyah melakukan aktivitas keagamaan,” ungkap Yendri, dilansir Tempo


Divisi Advokasi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Juandi Gultom juga turut melontarkan kekecewaannya, karena praktik diskriminasi terus terjadi setelah pernyataan Jokowi mengenai kebebasan beragama di Rakornas bersama para kepala daerah. 


Ia mencatat setidaknya ada 23 gereja yang diusik hingga saat ini dan data tersebut terus meningkat


“Sepanjang 2022 PGI mencatat ada 23 gereja yang mengalami gangguan. Data ini terus meningkat sampai hari ini. Padahal, kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama yang dialami gereja-gerja sebelumnya banyak yang belum diselesaikan negara,” sesalnya.


Hal ini juga diamati oleh peneliti lembaga Imparsial, Anisa Yudha, yang memantau peningkatan pengekangan dan pelarangan beribadah berbasis agama di beberapa daerah. 


Ia juga melihat dari beberapa kasus intoleransi tersebut, aktor pelanggarnya berasal dari aparat negara seperti yang terjadi pada 5 Januari 2023 lalu, Polres Ponorogo bersama Camat (Ngabel, Ponorogo) membubarkan paksa acara Jalsa Salanah, kegiatan tahunan jemaat Ahmadiyah. 


“Harusnya aparat kepolisian dan TNI berpihak kepada minoritas yang menjadi korban. Tugas aparat itu menindak pelaku,” tegas wakil koalisi dari Imparsial, Anisa Yudha.


Dari beberapa insiden tersebut, Annisa mendesak Presiden Jokowi untuk segera menepati janjinya dengan mengevaluasi Kemendagri untuk menjalankan tanggung jawabnya, sehingga dapat memulihkan hak kebebasan beragama khususnya untuk Jemaah Ahmadiyah dan umat kristiani.


“Justru Kemendagri harus melakukan monitoring dan evaluasi ke kepala daerah agar seluruh warga diperlakukan secara setara dalam beragama dan berkeyakinan,” kata dia.


Dalam Rakornas Kepala Daerah dan FKPD se-Indonesia, bulan lalu Jokowi sempat berpesan kepada seluruh kepala daerah untuk menjamin kebebasan beragaman dan beribadah setiap umat. 


Presiden menegaskan bahwa kebebasan beribadah dan beragama dijamin oleh konstitusi. Dia meminta agar setiap pimpinan di daerah memahami hal tersebut. (*)